Ketika mendengar kata “kehamilan”, pikiran kita secara otomatis mengaitkannya dengan perempuan. Pandangan ini wajar dan telah mengakar kuat dalam pemahaman kita selama ini. Secara biologis, kita mengetahui bahwa laki-laki memiliki sperma untuk membuahi, sementara perempuan memiliki sel telur yang siap dibuahi, serta rahim sebagai tempat janin berkembang. Namun, pesatnya perkembangan teknologi medis kini memicu pertanyaan baru, bahkan melahirkan konsep seperti mpreg atau male pregnancy di ranah media sosial. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah laki-laki bisa hamil? Mari kita telusuri faktanya berdasarkan penjelasan ilmiah terkini.
Apakah laki-laki bisa hamil?
Hingga saat ini, hanya individu dengan rahimlah yang secara biologis mampu mengalami kehamilan. Rahim adalah organ reproduksi utama yang esensial untuk mendukung perkembangan janin hingga siap lahir menjadi bayi. Faktanya, seseorang yang terlahir dengan jenis kelamin biologis laki-laki tidak memiliki rahim sebagai organ reproduksinya. Ini berarti, seseorang yang lahir dan hidup sebagai laki-laki secara biologis tidak dapat mengalami kehamilan.
Meski demikian, mereka yang mengidentifikasi diri sebagai laki-laki transgender atau non-biner, yang terlahir dengan jenis kelamin biologis perempuan, memiliki potensi untuk hamil. Kemungkinan ini muncul karena mereka memiliki organ reproduksi perempuan yang lengkap, termasuk rahim.
Laki-laki dan Potensi Kehamilan
Perawatan tertentu, khususnya terapi testosteron, dapat memengaruhi potensi kehamilan pada individu ini. Terapi ini dirancang untuk menekan efek hormon estrogen sekaligus merangsang perkembangan karakteristik maskulin, seperti pertumbuhan rambut wajah, peningkatan massa otot, dan perubahan suara. Studi menunjukkan bahwa individu yang menjalani terapi hormon testosteron sering kali mengalami henti haid, umumnya dalam waktu 6 bulan hingga 12 bulan.
Penting untuk dipahami bahwa terapi hormon testosteron tidak menyebabkan kemandulan secara permanen. Namun, siklus menstruasi yang menjadi tidak teratur akibat terapi ini dapat membuat laki-laki transgender atau non-biner membutuhkan waktu lebih lama untuk bisa hamil kembali. Selain itu, kehamilan setelah menjalani terapi testosteron berisiko lebih tinggi mengalami berbagai komplikasi, seperti solusio plasenta (kondisi plasenta terlepas dari rahim sebelum waktunya), persalinan prematur, anemia, dan hipertensi.
Persalinan dan Pasca Kelahiran
Dalam proses persalinan, individu yang terlahir dengan rahim—termasuk laki-laki transgender atau non-biner—memiliki opsi untuk melahirkan secara pervaginam atau melalui operasi caesar, sesuai preferensi atau indikasi medis. Setelah bayi lahir, keinginan untuk menyusui secara langsung sering kali muncul.
Laki-laki transgender memiliki kemungkinan untuk menyusui, meskipun mereka telah menjalani operasi pengesahan gender pada dada, seperti mastektomi atau pengangkatan payudara. Namun, hal ini bisa menjadi tantangan. Beberapa prosedur pembedahan medis untuk afirmasi gender, seperti mastektomi atau cangkok puting bebas, dapat memengaruhi kelenjar, saraf, dan saluran payudara, yang semuanya krusial bagi produksi ASI.
Selain itu, bayi mungkin mengalami kesulitan dalam menyusu akibat kurangnya jaringan lunak pada payudara pasca-operasi atau karena kebiasaan mengikat payudara. Penting untuk diingat bahwa tindakan mengikat payudara, yang bertujuan mengurangi jaringan lunak di dada, juga dapat meningkatkan risiko mastitis (peradangan payudara) jika dilakukan selama periode menyusui.
Transplantasi Rahim untuk Laki-laki
Inovasi medis terus bergerak maju, termasuk dalam upaya meningkatkan potensi kehamilan pada individu yang tidak memiliki rahim. Salah satu terobosan penting adalah transplantasi rahim, sebuah prosedur yang memungkinkan individu untuk mengandung.
Prosedur transplantasi rahim bukanlah hal baru; bayi pertama yang lahir dari rahim hasil transplantasi tercatat di Swedia pada Oktober 2014. Namun, pada masa itu, metode ini masih secara eksklusif diterapkan pada perempuan cisgender (perempuan yang terlahir dengan rahim dan mengidentifikasi diri sebagai perempuan).
Meskipun demikian, Dr. Richard Paulson, mantan presiden American Society for Reproductive Medicine, telah mengemukakan kemungkinan dilakukannya transplantasi rahim pada gender lainnya di masa depan. Penelitian dan pengembangan di bidang ini terus diupayakan untuk mewujudkan potensi tersebut.
Apabila transplantasi rahim kelak dapat dilakukan pada individu yang bukan perempuan cisgender, mereka kemungkinan besar akan memerlukan perawatan medis tambahan yang kompleks. Perawatan ini mencakup replikasi fase hormonal yang diperlukan selama kehamilan dan menyusui, serta intervensi untuk proses persalinan.
Sebagai kesimpulan, pertanyaan “apakah laki-laki bisa hamil?” memiliki jawaban yang nuansanya kompleks. Kehamilan memang mungkin terjadi pada individu yang mengidentifikasi sebagai laki-laki, khususnya mereka yang adalah transgender dan terlahir dengan organ reproduksi perempuan. Sementara itu, bagi seseorang yang terlahir dengan jenis kelamin biologis laki-laki (cisgender male), kemungkinan untuk hamil masih sangat bergantung pada terobosan inovasi medis di masa depan, terutama terkait dengan transplantasi rahim yang terbukti aman dan efektif.
Referensi
“Can Men Become Pregnant?.” Medical News Today. Diakses Juni 2025.
Brendan J Nolan, dkk. 2023. “Early Access to Testosterone Therapy in Transgender and Gender-Diverse Adults Seeking Masculinization”.JAMA Network.
“What to Know About Breast Abscess”. Health Grades. Diakses Juni 2025.
“Uterus Transplant”. Cleveland Clinic. Diakses Juni 2025.
5 Risiko Kelebihan Berat Badan Saat Hamil, Apa Bahayanya?
7 Penyebab Rahim Kering yang Bikin Susah Hamil, Wajib Tahu!
10 Makanan untuk Penderita PCOS agar Cepat Hamil, Apa Saja?