Home / Politics / Militer cari sosok di balik petisi tolak RUU TNI, tuduh gerakan sipil dibayar

Militer cari sosok di balik petisi tolak RUU TNI, tuduh gerakan sipil dibayar

Tentara Nasional Indonesia akan menelusuri sosok di balik penolakan Revisi Undang-Undang (UU) TNI serta tagar #IndonesiaGelap yang sempat masif beredar di media sosial beberapa bulan lalu. Menurut TNI, rangkaian aksi protes yang terjadi waktu itu digerakkan ‘aktor’ serta disokong aliran modal guna menyudutkan kerja-kerja militer dan pemerintah secara sengaja.

Keinginan TNI mengemuka setelah timbul pengakuan salah satu tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) pada 2022 yang sedang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung).

Tersangka bernama Marcella Santoso itu mengaku dalam video berdurasi sekitar empat menit bahwa dia telah membuat konten atau pemberitaan melalui media massa serta media sosial yang dinilai ‘menyerang’ Kejaksaan Agung.

“Bahwa saya menyadari di dalam proses penanganan perkara ini terdapat posting-an yang sebenarnya sama sekali tidak terkait dengan perkara yang ditangani, antara lain terkait dengan isu kehidupan pribadi Bapak Jaksa Agung, isu Bapak Jampidsus, isu Bapak Dirdik,” kata Marcella.

Dalam melakukan ‘operasi’ itu, Marcella—bersama advokat Junaedi Saibih yang juga ditetapkan tersangka—menggandeng mantan Direktur Pemberitaan JAKTV, Tian Bahtiar, dan pentolan Cyber Army, M. Adhiya Muzakki.

Marcella mengatakan uang sebanyak lebih dari Rp1 miliar diberikan kepada keduanya untuk mengongkosi semua agenda, mulai dari pengadaan seminar, demonstrasi, talkshow, sampai pengerahan ratusan buzzer, dengan narasi utama memojokkan Kejagung dalam tiga perkara yang sedang dipegang.

Tiga kasus tersebut ialah dugaan korupsi PT Timah, impor gula, serta ekspor CPO.

“Melakukan penyerangan secara pribadi terhadap institusi kejaksaan, terhadap kinerja Kejaksaan Agung Republik Indonesia, bahkan terhadap pimpinan kejaksaan,” ujar Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus, Abdul Qohar.

Pembingkaian (framing) yang ditujukan kepada Kejagung, imbuh Abdul, seolah-olah memperlihatkan adanya upaya kriminalisasi terhadap Marcella. Penyidikan kasus ekspor CPO, pada waktu yang sama, juga dianggap mengada-ada.

Marcella sendiri, dari kasus ini, kemudian ditetapkan sebagai tersangka perintangan penyidikan (obstruction of justice). Sebelumnya, Marcella lebih dulu dijadikan tersangka suap Rp60 miliar serta tindak pidana pencucian uang—dua-duanya masih dalam lingkup ekspor CPO.

Video Marcella tidak sebatas membahas Kejagung, tapi juga pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

“Bahwa terdapat juga isu terkait kehidupan Bapak Prabowo, seperti petisi Revisi UU TNI dan juga [tagar] Indonesia Gelap,” tuturnya.

Di sinilah TNI masuk.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayjen TNI Kristomei Sianturi, menegaskan bakal menggali lebih jauh mengenai aksi penolakan Revisi UU TNI, berbekal keterangan dari Marcella.

“Kami ingin tahu hasil pendalaman dari Kejaksaan Agung sendiri sampai mana. Artinya, yang berkaitan dengan petisi Revisi UU TNI,” kata Kristomei.

“Artinya, nanti kami mencari tahu siapa sebenarnya aktor di belakang ini semua. Dan kenapa, apa motivasinya, motifnya apa, sehingga kenapa [mempermasalahkan] Revisi UU TNI.”

Marcella, beberapa hari selepas video itu dipublikasikan, meralat pernyataan mengenai hubungannya dengan Revisi UU TNI dan ‘Indonesia Gelap.’

“Saya enggak bikin konten Revisi UU TNI. Saya enggak bikin ‘Indonesia Gelap.’ Bukan saya yang bikin,” ucapnya.

Meski begitu, TNI tetap berkeyakinan gerakan penolakan Revisi UU TNI dan gelombang kritik atas jalannya pemerintahan Prabowo-Gibran yang disimbolkan dalam ‘Indonesia Gelap’ adalah didesain sedemikian rupa, termasuk kecurigaan ihwal pendanaan di belakangnya.

“Tenaga-tenaga profesional bidang itu, yang buzzer, orang-orang tertentu yang punya kewenangan bisa membayar untuk meramaikan lagi di media sosial. Dan seperti itulah kira-kira yang perlu kita cari tahu,” ujar Kristomei.

‘Ini bohirnya siapa?’

Tiga pengelola akun Bareng Warga (@barengwarga), kanal informasi seputar isu masyarakat sipil di media sosial X dan Instagram, tertawa saat BBC News Indonesia bertanya mengenai tudingan militer yang menyatakan aksi tolak Revisi UU TNI sekaligus tagar #IndonesiaGelap disokong pemodal.

Bareng Warga tidak terlalu kaget dengan asumsi semacam itu seraya menyebut hal serupa tidak sekali saja terjadi.

“Ketika warga punya platform dan jadi besar setelah diamplifikasi karena banyak warga yang setuju, yang dipikir adalah kami orang bayaran. Yang dipikir adalah kami proksi politik,” tutur salah satu personel Bareng Warga, Ronald, yang enggan nama sebenarnya dipublikasikan karena alasan keamanan.

“Kalau menurutku, tuduhan ‘dalang’ ini karena mungkin mereka juga clueless. ‘Ini bohir-nya siapa? Mengapa ‘kepala’-nya enggak ada yang bisa dipegang?'” sambung anggota lain Bareng Warga, Asadiantara.

Awal 2025 bisa dibilang momentum krusial bagi masyarakat sipil di Indonesia. Setidaknya dua gelombang protes berskala besar hadir di tengah realitas, baik secara offline maupun online.

Pada Februari 2025, menjelang 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, linimasa media sosial riuh dengan tuntutan perbaikan pengelolaan negara yang dipicu serangkaian masalah: pendirian Danantara, efisiensi anggaran, sampai ketersediaan bahan pokok yang sulit dijangkau.

Publik, terutama di X, dulu Twitter, ramai-ramai mengeluarkan kritik dan merangkumnya dalam #IndonesiaGelap—lengkap dengan visual burung garuda berlatar hitam.

Baca juga:

  • Mengapa Garuda Pancasila digunakan dalam ‘peringatan darurat Indonesia’ dan demonstrasi di DPR?
  • Mengapa ‘peringatan darurat’ ala garuda hitam di medsos tetap dibutuhkan sebagai kontrol sosial?
  • ‘Indonesia belum terang, Indonesia masih kelam’ – Aksi ‘Indonesia Gelap’ menanti langkah konkret pemerintah

Interaksi warga di X berpuncak pada 17 serta 21 Februari, bertepatan agenda pelantikan kepala daerah dan aksi turunan berupa demonstrasi massa di berbagai kota atau kabupaten di seluruh Indonesia.

Pantauan Infogram Data Lab, perusahaan riset digital, menunjukkan dari 64.816 komentar, sebanyak 52.442 (81%) di antaranya bersentimen negatif. Emosi kemarahan (anger) mendominasi seluruh percakapan dengan 23.991 komentar (37%).

“Spektrum ini menjadi refleksi bahwa warganet geram dengan berbagai kebijakan pemerintah,” tulis Infogram Data Lab.

Satu bulan berselang, publik kembali dibikin ‘marah’ setelah pemerintah dan DPR seakan tutup telinga dengan aspirasi mereka: batalkan pengesahan Revisi UU TNI.

Baca juga:

  • Revisi UU TNI berpotensi mengembalikan Dwifungsi ABRI – Mengapa ada trauma militerisme era Orde Baru?
  • Sejarah Dwifungsi ABRI: Panggilan sejarah, kelemahan pemimpin sipil, atau hasrat militer berkuasa?
  • Revisi UU TNI: ‘Militer itu tidak pernah demokratis’ – Apa bahayanya jika TNI merambah dunia sipil?

Berbagai tuntutan, yang dikemas dalam bermacam rupa konten, disebar lintas platform, dibarengi dengan—sekali lagi—demonstrasi besar sepanjang akhir Maret, yang skalanya kurang lebih mirip seperti yang terjadi pada ‘Reformasi Dikorupsi’ (2019) dan ‘Tolak UU Cipta Kerja’ (2020).

Dalam dua titik momentum tersebut, Bareng Warga hadir menyemai peran sebagai saluran informasi sekaligus pintu perlawanan.

Cerita Bareng Warga berawal dari niat pribadi, dan memang tidak dihendaki untuk sesuatu yang serius—apalagi tumbuh dan membesar.

“Memang pertama kali dibikin itu sebuah akun anonim untuk mengeluh, sesederhana itu. Tidak ada kepentingan menjadi corong informasi atau melawan rezim,” ucap Asadiantara kepada BBC News Indonesia, Selasa (24/6).

Seiring waktu, unggahan-unggahan keluhan itu beralih bentuk sebagai konten yang mendulang banyak likes dan dibagikan ulang lantaran dipandang mewakili perasaan kekecewaan terhadap pemerintah yang dikemudikan Prabowo-Gibran.

Karenina, bukan nama sebetulnya, personel Bareng Warga lainnya, berpendapat titik balik Bareng Warga muncul ketika penolakan Revisi UU TNI. Momen itu juga yang memberi petunjuk bagaimana Bareng Warga bekerja.

“Kami waktu itu, istilahnya, ‘ngejagain‘ kota-kota yang sedang melakukan aksi menolak Revisi UU TNI. Kami menawarkan bantuan, bisa dibilang, kepada perwakilan atau orang-orang yang ikut aksi dengan mempublikasikan situasi di lapangan,” paparnya.

“Banyak yang kemudian akhirnya mengirimkan pesan ke kami, mengirimkan footage atau informasi mengenai pos medis, pendampingan hukum, titik-titik evakuasi, hingga link CCTV.”

Selama tujuh hari, dari 20-27 Maret, Karenina menuturkan, “kami selalu dapat informasi-informasi soal demo.”

Baca juga:

  • Demonstrasi mahasiswa menentang UU TNI berlangsung maraton dan menyebar ke banyak kota, apa maknanya?
  • DPR sahkan Revisi UU TNI, mahasiswa gelar demonstrasi di berbagai kota – ‘Demokrasi telah dibunuh di DPR’
  • Mengapa lagu band punk Sukatani ‘Bayar Bayar Bayar’ jadi lagu tema demo ‘Indonesia Gelap’?

Keterlibatan aktif Bareng Warga memantau serta mengawal aksi massa membuat mereka seperti turun langsung di medan perlawanan, sebut Karenina.

“Banyak kota-kota yang selama ini enggak tersentuh media, jadi bisa ke-cover,” ujarnya.

Akun Bareng Warga, utamanya di X, seketika menjadi rujukan untuk siapapun yang ingin mengetahui perkembangan terbaru ihwal penolakan Revisi UU TNI. Dalam kurun waktu yang relatif tidak lama, Bareng Warga, per 26 Juni 2025, telah diikuti lebih dari 10.000 akun di X dan Instagram.

Pengerjaan konten atau informasi di Bareng Warga dirumuskan secara partisipatif. Artinya, Bareng Warga membuka diri terhadap semua ‘warga’ yang memiliki keresahan atas masalah-masalah yang ada.

Maka dari itu, kiprah Bareng Warga tidak sebatas berhenti pada isu Revisi UU TNI saja, melainkan menyebar ke topik yang lain: kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG), pembangunan di Papua, keadilan untuk perempuan dan kelompok terpinggirkan, hingga polah tingkah pejabat.

Dari aspek kolaborasi, Bareng Warga menyambut ajakan pihak lain secara sukarela, berujung terciptanya kerja sama dengan akun-akun kolektif sejenis, individu, atau organisasi nonpemerintah.

Keterbukaan Bareng Warga turut menegaskan betapa platform yang mereka pegang bukan milik satu atau segelintir sosok belaka. Hal ini sangat mereka hindari.

“Makanya, kami faceless, karena kami enggak ingin balik seperti dulu lagi yang setiap gerakan banyak mengandalkan tumpuan kepada sosok atau orang tertentu,” tandas Ronald.

Jalan yang ditempuh Bareng Warga bukan tanpa risiko.

Apa yang mereka lakukan kerap dibalas dengan pembungkaman, terekam melalui upaya peretasan maupun doxxing (pembukaan identitas pribadi ke publik).

Tuduhan bahwa gerakan sipil dibayari oleh kelompok atau pihak tertentu, menurut Bareng Warga, “tidak masuk akal” dan menambah panjang daftar usaha-usaha untuk ‘mendiamkan’ riuh kritik di kalangan masyarakat.

“Kalau kita melihat demo [Revisi UU TNI] kemarin, itu terjadi di setidaknya 76 kota/kabupaten di Indonesia. Maksudnya, ini sudah menjadi fenomena yang seharusnya adalah alarm [untuk pemerintah] ketika kita bicara soal meaningful participation,” kata Asadiantara.

Rentetan dugaan peristiwa intimidasi maupun kekerasan kepada masyarakat sipil lahir berbarengan dengan protes yang menyasar Revisi UU TNI.

Ketika demonstrasi meletus, selama periode 21-28 Maret, 153 orang ditangkap dan 68 lainnya mengalami luka-luka, tersebar di 15 kota/kabupaten, berdasarkan catatan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD).

Masih pada linimasa yang sejalur, sejumlah kampus di Jakarta, Bali, Papua, Semarang, sampai Purwokerto didatangi personel militer saat mahasiswa tengah melangsungkan diskusi mengenai konsekuensi pemberlakuan Revisi UU TNI—atau masalah politik-sosial lainnya.

Sementara mahasiswa yang mengajukan uji formil (mempersoalkan proses pembentukan sebuah regulasi) terhadap Revisi UU TNI—setelah ditandatangani oleh Prabowo—disinyalir mendapatkan intimidasi aparat dengan menargetkan data pribadi dan keluarga mereka.

Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengingatkan militer untuk tidak menyebarkan ketakutan kepada masyarakat sipil yang mengeluarkan kritik terhadap perumusan Revisi UU TNI. Konstitusi, Feri menerangkan, telah menjamin kebebasan berpendapat setiap warganya.

“Jadi, jangan sampai TNI terlihat ingin menakuti para pengkritik TNI,” tuturnya saat dihubungi BBC News Indonesia, Selasa (24/6).

Selain itu, Feri menambahkan, TNI semestinya menerima masukan dari masyarakat serta tidak “mencari alasan pembenaran untuk pembentukan undang-undang yang sejak awal memang bermasalah.”

Sedangkan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menyebut tuduhan TNI kepada masyarakat sipil bahwa mereka diongkosi untuk ‘menyerang’ Revisi UU TNI—beserta #IndonesiaGelap—menunjukkan “semacam kekeliruan berpikir.”

“Bahwa masyarakat yang kritis, masyarakat yang bergerak, masyarakat yang berdemonstrasi itu adalah ditunggangi, didalangi,” ucapnya menanggapi BBC News Indonesia, Selasa (24/6).

Bagi Isnur, tudingan-tudingan itu “adalah bagian dari pembungkaman serta penyudutan.” Padahal, “gerakan masyarakat sipil berangkat dari kesadaran yang meluas dan bagian dari gerakan yang jelas dasar pikir maupun argumentasinya,” Isnur memaparkan.

Baca juga:

  • Di balik retorika ‘waspadai kekuatan asing’ ala Presiden Prabowo Subianto – ‘Prabowo adu domba warga dengan warga’
  • Tentara duduki kampus, mahasiswa dikirim ke Nusakambangan, hingga larangan baca buku Pramoedya – Tujuh hal yang perlu diketahui tentang NKK/BKK pada era Orde Baru

Isnur mengamati ada kecenderungan dari pihak berkuasa—dalam hal ini militer maupun pemerintah—guna memengaruhi opini publik sehingga gerakan sipil dapat terbelah—syukur-syukur diredam.

“Masyarakat sipil, mahasiswa, sudah sangat konsisten bergerak dari 1960-an, 1970-an, 1980-an, dan 1998 untuk menyatakan suaranya,” ucap Isnur yang juga pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera ini.

“Lalu ketika ada yang kritis, disebutnya ditunggangi, didalangi. Sangat miris.”

Sebelum isu sekarang dibahas di publik, Prabowo, tatkala sesi wawancara dengan pemimpin redaksi media, pernah pula mempertanyakan demonstrasi oleh masyarakat.

“Coba perhatikan secara objektif dan jujur. Apakah demo-demo itu murni atau ada yang bayar? Harus objektif, dong,” ungkapnya, April 2025.

Sekecil-kecilnya perlawanan adalah perlawanan

Pengurus Basuara, Sorgum mengingat ada satu momen ketika konten Basuara (@basuara) dikerumuni setidaknya tujuh akun yang diduga pendengung—buzzer.

Konten Basuara waktu itu membahas tentang Revisi UU TNI, dan dinaikkan sekitar empat hari selepas Revisi UU TNI diketok oleh DPR.

“Mereka [para buzzer] ini langsung nyamber dan bilang kalau isi konten kami adalah propaganda,” cerita Sorgum.

“Kami diminta saja buat mendukung Revisi UU TNI.”

Basuara menganggap omongan buzzer sebagai angin lalu.

Seperti namanya, Basuara ditujukan untuk ruang “bersuara bersama-sama,” Sorgum menuturkan, terhadap masalah-masalah yang sedang berkembang di tengah anak muda.

“Kami melihat tidak jarang penyampaian [isu] di media itu dibuat dengan tidak sederhana,” Sorgum, 27 tahun, menjelaskan mula pembentukan Basuara.

“Akhirnya, kami berpikir dan memutuskan untuk membuat satu platform kolektif agar bagaimana masalah-masalah ini dapat ditangkap sama anak-anak muda.”

Pada 2020, perjalanan Basuara dimulai dengan mengawal kriminalisasi yang ditujukan kepada Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti setelah membahas riset mengenai kelindan bisnis serta militer di Papua dalam sebuah podcast.

Basuara membungkus konten dukungan tersebut secara ‘santai,’ bergaya khas anak muda.

Audiens di Instagram menangkap konten Basuara, dan itu menjadi pijakan—serta dorongan—untuk mereka dalam membagikan informasi-informasi secara rutin.

Konten-konten Basuara, berdasarkan pengamatan BBC News Indonesia, disusun dengan bahasa yang ringan, desain yang berwarna, serta—dalam beberapa kesempatan—menyelipkan unsur budaya pop, seperti manga, yang ‘dekat’ ke pengguna di kelompok usia muda.

Dalam konteks penolakan atas Revisi UU TNI, nama Basuara sempat mencuri perhatian ketika mempromosikan gelaran ‘Piknik Melawan’—dihelat bersama Bareng Warga dan sejumlah organisasi sipil lainnya.

Secara konsep, ‘Piknik Melawan’ adalah mendirikan tenda, bermalam, serta mengadakan diskusi sampai kegiatan baca buku bersama di area gedung DPR-MPR. Pendek kata, ‘Piknik Melawan’ merupakan bentuk protes yang dibikin secara ringan dan menyenangkan.

Tapi, pelaksanaan ‘Piknik Melawan’ tidak selalu begitu.

Aparat Satuan Polisi (Satpol) Pamong Praja (PP) Provinsi DKI Jakarta diduga bertindak sewenang-wenang dengan membubarkan paksa acara ‘Piknik Melawan.’ Alasannya: ketertiban dan keamanan.

Balik lagi ke Basuara. Sampai sekarang, jumlah pengikut Basuara menyentuh lebih dari seribu pengguna di X dan 5.000 di Instagram.

Komposisi pengikutnya, Sorgum memberitahu BBC News Indonesia, anak-anak muda dari kalangan mahasiswa dan SMA.

“Bahkan pernah suatu waktu ada anak SMA sengaja reach out kami, meminta untuk membahas isu tertentu yang mereka kurang paham atau masih bingung,” kata perempuan yang sehari-hari bekerja di lembaga konservasi ini.

Sama seperti Bareng Warga, Basuara tidak menutup keterlibatan orang lain. Basuara ingin menciptakan ruang yang inklusif sehingga siapapun mereka, dengan latarbelakang yang bermacam jenis, dapat bergabung dan berkontribusi untuk bergerak dalam satu irama yang sama.

“Basuara itu berbeda-beda. Ada anak komunikasi, hukum, dan lain-lain. Ada yang dari lingkaran terdekat, ada yang baru ketemu dan kenal,” tutur Sorgum.

“Kami ingin membangun platform ini secara sama-sama, termasuk teman-teman yang dari komunitas di luar Jakarta yang selama ini sudah membersamai kami.”

Ketika militer menuding demonstrasi dan kritik terhadap Revisi UU TNI sebagai aktivitas yang dibayar, Sorgum melihat bahwa “negara menodai perjuangan masyarakat sipil.”

Jalan yang dipilih Bareng Warga, Basuara, atau kolektif-kolektif sipil lainnya kerap membawa para personelnya ke dalam keterasingan, di samping peluang atas risiko yang senantiasa mengintai.

Sorgum berpendapat meski Basuara merupakan ‘akun kecil,’ tapi ini adalah caranya, juga warga sipil yang lain, untuk bertahan di antara gejolak yang muncul dalam kekuasaan.

Setiap kebijakan yang dicetuskan serampangan, perlu dipertanyakan serta diperjuangkan agar bisa kembali ke koridor yang semestinya.

“Kalau ditanya apa yang bikin bertahan yaitu saya percaya Basuara adalah rangkaian upaya-upaya kecil sebagai sumber kekuatan untuk yang belum dimenangkan hari ini,” sebutnya.

Sejauh ini, Bareng Warga belum merasa akan berhenti melakukan apa yang sudah mereka lakukan. Keputusan untuk menyudahi Bareng Warga, kelak, diambil dengan bersandar pada—salah satunya—kemungkinan bahwa warga sipil benar-benar dilibatkan dalam setiap kebijakan pemerintah.

Dengan demikian, warga sipil, “menjadi diperhitungkan dan keberadaan kami tidak lagi relevan,” tegas Ronald.

“Pada dasarnya, kami yang di Bareng Warga adalah pekerja biasa, bukan aktivis tulen. Kami bekerja, terima gaji, dan bayar pajak. Kami ingin tahu pajak kami itu digunakan dengan baik [oleh pemerintah],” Ronald menambahkan.

Lewat platform yang tersedia, Bareng Warga ingin mengajak warga sipil untuk “menjadi aktivis meski hanya 10 menit,” tutur Ronald.

“Dengan kita bersuara, setidaknya kita sudah mengusahakan perlawanan-perlawanan kecil, sesuai tagline yang kami usung,” jelasnya.

Kata kuncinya yakni “bersama-sama,” kata Asadiantara, dan itu sudah setapak demi setapak terbangun.

“Pernah ketika kami ingin mengadakan acara, beberapa kawan dari organisasi lain menawarkan tempat dan konsumsi karena mereka tahu kami enggak punya uang,” ingat Asadiantara.

Menurut Asadiantara, jaringan sesama warga sipil yang terbentuk menggambarkan betapa ‘sipil dukung sipil’ bukan kemustahilan dan mampu menjadi kekuatan alternatif dalam mewujudkan pemenuhan hak yang berkeadilan.

Rasa lelah, tidak bisa dimungkiri, sering kali muncul, dan jika sudah begitu Karenina mengingat bagaimana cerita banyak orang yang terpengaruh Bareng Warga untuk terus atau kembali menyuarakan kegelisahan mereka.

Ia tidak menyangka bahwa Bareng Warga mampu mendorong—walaupun hanya sedikit—api kemarahan masyarakat yang sebelumnya padam atau bahkan mati.

“Kami bertemu banyak orang dan mereka memberikan testimoni. Bareng Warga, katanya, bikin mereka bersedia untuk ngomong atas apa yang terjadi dengan situasi sekarang,” ucap Karenina.

“Dari situ, as long as publik masih percaya Bareng Warga, kami juga akan terus di sini.”

  • Empat hakim jadi tersangka suap kasus ekspor minyak sawit, bisakah perusahaan turut dijerat?
  • Perusahaan kelapa sawit, batubara, dan nikel diduga terlibat korupsi Rp2,5 triliun terkait pembiayaan ekspor, siapa saja mereka?
  • Terdakwa korupsi Rp78 triliun, Surya Darmadi, divonis 15 tahun penjara dari tuntutan seumur hidup
  • Revisi UU TNI: ‘Militer itu tidak pernah demokratis’ – Apa bahayanya jika TNI merambah dunia sipil?
  • Mahasiswa penggugat UU TNI diduga ‘diintimidasi’ anggota TNI – Mulai menelepon orang tua, hingga Babinsa datangi ketua RT
  • Revisi UU TNI berpotensi mengembalikan Dwifungsi ABRI – Mengapa ada trauma militerisme era Orde Baru?
  • TNI masuk ranah perguruan tinggi di Bali hingga Papua, apa tujuannya?
  • Mahasiswa UIN Walisongo Semarang ‘diteror’ anggota TNI buntut pemberitaan kehadiran militer di kampus – ‘Saya diancam dengan UU ITE’
  • Mahasiswa penggugat UU TNI diduga ‘diintimidasi’ anggota TNI – Mulai menelepon orang tua, hingga Babinsa datangi ketua RT
  • Mahasiswa UIN Walisongo Semarang ‘diteror’ anggota TNI buntut pemberitaan kehadiran militer di kampus – ‘Saya diancam dengan UU ITE’
  • ‘Harapannya MK tetap netral dan objektif’ – Sejumlah mahasiswa gugat revisi UU TNI ke MK, bagaimana peluangnya?
  • Kesaksian mantan jenderal yang dulu berupaya hapus Dwifungsi ABRI – ‘Saya melawan arus dan dikeroyok’
  • TNI masuk ranah perguruan tinggi di Bali hingga Papua, apa tujuannya?
  • ‘Aksi piknik’ sekelompok anak muda yang masih menentang UU TNI di depan gerbang DPR ‘sampai menang’