Home / Health / Malas Jadi Obat Stres? Ini Kata Psikolog + Tipsnya!

Malas Jadi Obat Stres? Ini Kata Psikolog + Tipsnya!

southwestobits.com Dalam hiruk pikuk kehidupan modern, sebuah tren menarik muncul di media sosial: klaim tentang manfaat bermalas-malasan. Banyak pengguna internet kini ramai membicarakan gagasan untuk menghabiskan satu hari penuh setiap minggu dalam keadaan santai, percaya bahwa kebiasaan ini tidak hanya ampuh menurunkan tingkat stres, tetapi juga berpotensi memperpanjang usia.

Fenomena ini kian viral setelah sebuah unggahan dari akun Instagram @visualinspir* pada Minggu (1/6/2025) menjadi sorotan. Unggahan tersebut mengutip International Journal of Environmental Research and Public Health, yang mengindikasikan bahwa menyisihkan waktu untuk tidak melakukan apa-apa alias bermalas-malasan seminggu sekali, bisa secara signifikan memperbaiki suasana hati dan meredakan tekanan emosional.

Respons warganet terhadap gagasan ini pun beragam, mencerminkan spektrum pandangan yang luas. Ada yang menyambutnya dengan antusiasme dan dukungan penuh, namun tak sedikit pula yang menunjukkan keraguan atau bahkan sindiran. Komentar seperti “Kalau tiap hari malas-malasan pasti lebih bahagia,” dari @cic* menunjukkan sisi yang mendukung. Di sisi lain, @distorte* menyindir dengan “Hoakk nii gw males-malesan tiap hari tapi tetap stres,” sementara @farahdin* skeptis dengan “Ini kalimat penenang aja.

Lantas, di tengah perdebatan pro dan kontra ini, muncul pertanyaan krusial: benarkah bermalas-malasan sesekali memang memiliki manfaat nyata bagi kesehatan mental dan kesejahteraan kita?

Baca juga: 10 Alasan Orang Tidak Mengekspos Diri di Media Sosial Menurut Psikolog

Psikolog: Bermalas-malasan Efektif Kurangi Stres, Tapi Ada Syaratnya

Menjawab pertanyaan tersebut, psikolog Christin Wibowo dari Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Semarang menjelaskan, bermalas-malas seharian penuh dalam seminggu memang dapat memberikan manfaat. Kuncinya, aktivitas ini harus dilakukan secara sadar sebagai bentuk perawatan diri, bukan sebagai alasan untuk menghindar dari tanggung jawab yang ada.

Christin menambahkan, “Apapun aktivitasnya, selama itu adalah hobi atau dilakukan atas dasar kesenangan pribadi, biasanya akan membuat suasana hati membaik,” seperti yang ia sampaikan kepada Kompas.com pada Minggu (15/6/2025). Peningkatan suasana hati ini, pada gilirannya, akan membekali individu untuk kembali menjalani rutinitas harian dengan lebih siap dan bersemangat.

Ia mencontohkan, aktivitas sederhana seperti menonton film atau drama Korea (drakor) di akhir pekan sambil bersantai, jika dilakukan secara wajar, dapat menjadi sarana ampuh untuk melepaskan penat. “Kalau hobinya nonton drama sambil rebahan, tidak masalah. Tapi tetap harus ada batasnya,” tegas Christin, menekankan pentingnya keseimbangan.

Christin mengibaratkan pentingnya relaksasi ini seperti proses mengisi ulang baterai ponsel. Layaknya gawai yang akan mati jika terus digunakan tanpa pengisian daya, manusia pun akan mengalami hal serupa. Jika seseorang terus-menerus bekerja tanpa jeda atau hiburan yang memadai, ia akan lebih mudah merasa lelah, kehilangan semangat, bahkan hingga kehilangan motivasi.

Kendati demikian, ia mengingatkan bahwa esensial untuk membedakan secara tegas antara menikmati hobi dan sengaja menghindari kewajiban. “Kalau seseorang punya tanggung jawab tapi memilih bermalas-malasan terus-menerus, itu bukan self-care, tapi bisa jadi tanda distress atau stres yang belum tertangani,” papar Christin. Ini menunjukkan bahwa kemalasan yang produktif berbeda dengan kemalasan yang destruktif.

Sebaliknya, jika pada hari tertentu seseorang memang tidak terikat pada kewajiban atau tanggung jawab, memanfaatkan waktu luang untuk bersantai justru dapat menjadi bentuk pemulihan yang sangat sehat. “Justru momen seperti itu bisa jadi waktu terbaik untuk mengisi ulang energi, apalagi kalau dilakukan sendiri dan memang dinikmati,” imbuhnya, menekankan nilai positif dari momen-momen tenang ini.

Baca juga: Benarkah Anak yang Tumbuh Tanpa Peran Ayah Akan Jadi Generasi Stroberi? Ini Kata Psikolog

Bermalas-malasan: Sinyal Tubuh Membutuhkan Pemulihan dan Keseimbangan

Senada dengan pandangan Christin, psikolog Danti Wulan Manunggal dari Ibunda.id turut menguatkan. Ia menjelaskan bahwa bermalas-malasan dalam konteks yang positif sejatinya merupakan mekanisme alami tubuh untuk memulihkan diri dari berbagai tekanan dan kelelahan.

Tubuh dan pikiran memang butuh waktu untuk beristirahat dan menenangkan diri,” jelas Danti. Ia menguraikan bahwa ketika seseorang mengalami stres, tubuh secara otomatis melepaskan hormon kortisol. Kadar hormon yang terlalu tinggi ini dapat berdampak buruk pada kesehatan. Oleh karena itu, melakukan aktivitas relaksasi, termasuk bermalas-malasan, sangat efektif dalam membantu menurunkan kadar kortisol tersebut dan mengembalikan keseimbangan tubuh.

Namun, Danti juga mengingatkan akan krusialnya kemampuan untuk mengenali tanda-tanda bahwa rasa malas mungkin telah melampaui batas sehatnya. “Kalau rasa malas berlangsung terus-menerus hingga mengganggu aktivitas sehari-hari, bisa jadi itu sinyal adanya tekanan emosional yang lebih serius,” ungkap Danti. Ini adalah indikasi bahwa tubuh dan pikiran mungkin membutuhkan perhatian lebih dalam.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rasa malas yang sehat merupakan bentuk jeda sementara yang produktif, bukan merupakan pola berkelanjutan untuk menghindar dari tanggung jawab.

Oleh karena itu, Danti menegaskan, “Kalau rasa malas itu terus berlangsung dan membuat kita menunda tanggung jawab penting, mungkin sudah waktunya mencari bantuan profesional.” Ini menjadi pengingat penting bagi siapa pun yang merasa kemalasannya telah berubah menjadi penghambat kehidupan.

Baca juga: Suami Bunuh Istri Lalu Ikuti Pemakaman di Serang, Psikolog: Pelaku Terindikasi Antisosial atau Psikopat

Tag: