southwestobits.com –, Jakarta – Konflik di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, memasuki babak baru. Warga setempat kini menggugat pemerintah terkait Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang dinilai merugikan. Gugatan ini resmi didaftarkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Khaerul Anwar, kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang mendampingi warga, menegaskan bahwa gugatan ini adalah bentuk perlawanan warga Pulau Pari untuk membatalkan keputusan tata usaha negara (KTUN) terkait PKKPRL. Izin ini diterbitkan oleh Menteri Investasi dan Hilirisasi untuk proyek di Gugus Lempeng, Pulau Pari.
Apa yang Dipersoalkan Warga?
PKKPRL sendiri merupakan izin yang dikeluarkan pemerintah kepada perusahaan untuk memanfaatkan ruang laut. Dalam kasus Pulau Pari, izin dengan nomor 12072410513100013, yang kini menjadi objek gugatan, awalnya diterbitkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebelum jabatan tersebut diemban oleh Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM.
Sumber kekhawatiran warga adalah aktivitas pengerukan pasir laut dangkal yang dilakukan oleh PT Central Pondok Sejahtera (PT CPS). Perusahaan ini menggunakan alat berat untuk mengeruk pasir di sekitar Pulau Pari, dengan tujuan membangun fasilitas pariwisata berupa penginapan atau villa terapung. Dampaknya inilah yang membuat warga resah.
Atik Sukamti, salah seorang warga Pulau Pari yang ikut menggugat, mengungkapkan bahwa PKKPRL ini berpotensi merusak ekosistem pesisir yang vital, termasuk padang lamun, mangrove, dan terumbu karang. Kerusakan ini akan berdampak langsung pada kehidupan para nelayan yang menggantungkan hidupnya pada laut.
Jeritan Warga Pulau Pari
Lebih lanjut, Atik menekankan peran penting hutan mangrove dalam melindungi garis pantai dari abrasi. Ia juga menyoroti dampak ekonomi dari pembangunan villa terapung yang digarap PT CPS. “Jika villa terapung jadi dibangun, perekonomian warga akan terganggu karena penginapan milik warga akan bersaing,” ujarnya.
Rekam Jejak Kontroversi PT CPS di Pulau Pari
Sebenarnya, penolakan terhadap aktivitas PT CPS di Pulau Pari sudah berlangsung sejak awal 2025. Masyarakat sempat dihebohkan dengan temuan kerusakan mangrove akibat pembangunan pondok wisata oleh perusahaan tersebut. Investigasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pun mengindikasikan adanya kerusakan mangrove dan reklamasi ilegal di Pulau Pari. Staf Khusus Menteri KKP, Doni Ismanto Darwin, membenarkan temuan ini berdasarkan peninjauan lapangan oleh tim Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (Ditjen PKRL) KKP.
Sebelumnya, sejak November 2024, warga Pulau Pari telah mengeluhkan kerusakan mangrove dan penimbunan pantai. Mereka bahkan sempat melakukan penghadangan terhadap alat berat yang digunakan perusahaan untuk menggusur mangrove dan menguruk pantai. Pada bulan yang sama, PT CPS juga diduga merusak ribuan pohon mangrove saat membangun pondok wisata di Pulau Biawak.
Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono, bahkan menegaskan bahwa PT CPS diduga melakukan reklamasi tanpa izin di kawasan PKKPRL yang diterbitkan pada 12 Juli 2024. Izin tersebut seharusnya hanya diperuntukkan bagi pembangunan cottage apung dan dermaga wisata seluas 180 hektare.
“Rencana tindak lanjut mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi kepada PT CPS atas indikasi pelanggaran yang telah dilakukan,” tegas Wahyu Trenggono dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR di Senayan, Jakarta, Kamis, 23 Januari 2025.
Hasil peninjauan lapangan KKP juga menemukan aktivitas pengerukan menggunakan alat berat di area KKPRL yang merupakan ekosistem mangrove dan padang lamun dalam kondisi baik. PT CPS juga diduga membangun pondok wisata dengan reklamasi tanpa KKPRL, yang mengakibatkan alih fungsi ekosistem mangrove. Tindakan ini diduga melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang telah diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2023.
Berdasarkan aturan yang berlaku, setiap kegiatan pemanfaatan ruang laut yang berlangsung lebih dari 30 hari wajib memiliki izin PKKPRL dari Menteri KKP. Tim Ditjen PKRL telah mengumpulkan bahan dan keterangan terkait kasus ini.
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) juga telah menyegel proyek pembangunan di Pulau Biawak setelah ditemukan pembabatan puluhan ribu pohon mangrove. Deputi Penegakan Hukum Lingkungan KLH, Rizal Irawan, menyatakan pihaknya akan mendalami laporan warga tentang pembabatan mangrove serta kerusakan terumbu karang dan padang lamun.
Menteri Lingkungan Hidup saat itu, Hanif Faisol Nurofiq, beserta jajarannya bahkan turun langsung bertemu dengan warga Pulau Pari. Warga melaporkan bahwa aktivitas pengerukan laut dangkal oleh PT CPS pada 17 Januari 2025 telah merusak sekitar 40 ribu pohon mangrove berumur tiga tahun yang mereka tanam. Selain itu, kerusakan juga terjadi pada 62 meter persegi ekosistem terumbu karang dan padang lamun di perairan tersebut.
Sorotan Terhadap Aspek Hukum dan Perizinan
Gugatan warga Pulau Pari menyoroti adanya dugaan cacat hukum dalam penerbitan PKKPRL. Susan Herawati dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menjelaskan bahwa lokasi yang rencananya digunakan untuk pembangunan village terapung dan dermaga pariwisata adalah ruang yang dikelola secara kolektif oleh warga Pulau Pari.
“Kegiatan pembangunan cottage apung dan dermaga pariwisata dengan cara reklamasi jelas dilarang karena akan merusak terumbu karang serta mangrove,” tegas Susan.
Nabiila Azzahra dan Dede Leni Mardiyanti berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: KKP Segel Proyek Reklamasi Ilegal PT CPS di Pulau Pari