southwestobits.com – Di tengah hiruk pikuk Bangkok, Thailand, sebuah kafe menawarkan pengalaman yang tak biasa, bahkan mungkin menantang persepsi banyak orang tentang kehidupan dan kematian. Turis asal Inggris, Tyla Ferguson-Platt, menjadi salah satu yang berani menyelami pengalaman unik di Kafe Kesadaran Kematian atau yang dikenal sebagai Kid Mai Death Awareness Cafe ini.
Kafe yang telah berdiri sejak tahun 2018 ini pertama kali menarik perhatian Platt setelah ia menemukan unggahan menarik di Reddit pada tahun 2019. Tanpa ekspektasi berlebihan, Platt memutuskan untuk mengunjungi tempat yang menjanjikan refleksi mendalam tentang eksistensi manusia ini.
Setibanya di sana, Platt disambut oleh Keue, pengelola kafe, yang dengan ramah menjelaskan latar belakang dan filosofi di balik Kid Mai Death Awareness Cafe. Keue mengungkapkan bahwa kafe ini didirikan oleh seorang filsuf Buddha terkemuka, Dr. Veeranut Rojanaprapa. Menurut Keue, Dr. Rojaprana mendirikan kafe ini dengan misi mulia untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial yang melanda Thailand, termasuk kejahatan dan korupsi.
Sebagai seorang penganut Buddha, Dr. Rojaprana meyakini bahwa akar dari segala kejahatan adalah keserakahan dan kemarahan. Oleh karena itu, ia mendirikan kafe kematian sebagai medium untuk menumbuhkan penerimaan yang mendalam terhadap kematian melalui ajaran Buddha. Filsuf tersebut percaya bahwa dengan menyadari kefanaan hidup, seseorang akan belajar untuk hidup lebih damai dan menghargai setiap momen yang ada.
Lantas, seperti apa pengalaman tak terlupakan yang dilalui Platt saat menjelajahi kafe kematian yang penuh makna ini?
Kafe dengan 4 Tahap Kehidupan-Kematian
Dilansir dari BBC, kafe kematian ini memiliki instalasi pameran kecil yang unik, dilengkapi dengan empat wahana atau ruangan yang mewakili tahapan kehidupan: kelahiran, penuaan, penyakit, dan kematian. Setiap ruangan dirancang untuk memberikan pengalaman immersif yang memicu refleksi mendalam. Berikut adalah pengalaman Platt saat melangkah ke dalam setiap ruang tersebut:
1. Ruang Kelahiran
Platt menggambarkan ruangan pertama ini sebagai tempat yang awalnya dipenuhi cahaya terang benderang dengan lampu berkedip-kedip, seolah memperlihatkan bagian dalam tubuh. Kemudian, secara bertahap, lampu meredup, meniru kegelapan dan keterbatasan ruang yang dialami janin di dalam rahim ibu. Keue lantas mengundang Platt untuk berbaring di dalam kursi gantung berwarna merah yang melambangkan rahim. Setelah masuk dan berbaring dalam posisi janin, Keue menutup risleting kursi, dan Platt pun mulai merasakan ketidaknyamanan akibat ruang geraknya yang terbatas. Untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa janin, di fase awal kehidupannya, sudah merasakan penderitaan.
2. Ruang Penuaan
Beranjak ke ruang kedua, Platt diminta untuk mengikat kakinya dengan tas yang cukup berat, simulasi beban dan melemahnya kekuatan otot yang biasa dialami saat menua. Selain itu, ia juga mengenakan kacamata yang membuat pandangannya kabur, menirukan kondisi penglihatan orang lanjut usia. Saat mencoba menaiki tangga dengan kondisi tersebut, Platt merasa kesusahan dan secara fisik merasakan bagaimana fungsi tubuhnya mulai melemah.
3. Ruangan Sakit
Pengalaman Platt berlanjut ke ruangan berikutnya, yaitu ruang penyakit. Di sana, ia diminta untuk berbaring di ranjang tiruan rumah sakit yang sangat realistis, dengan tubuhnya seolah terbenam dalam kasur. Suasana di ruangan itu semakin terasa nyata berkat dekorasi tabung oksigen, monitor jantung, dan berbagai alat medis lainnya. Keue kemudian melontarkan pertanyaan yang menusuk hati: “Dengan siapa Anda ingin berbicara jika Anda akan meninggal?” Tanpa ragu, Platt langsung menyebut ibunya. Ia mengakui bahwa ada kemarahan yang belum terselesaikan dalam dirinya terhadap sang ibu, akibat perceraian orang tuanya bertahun-tahun silam.
Keue melanjutkan, “Sekarang katakan padaku, apa yang ingin kamu katakan kepada ibumu jika ini adalah saat terakhirmu di Bumi?” Pertanyaan itu sontak membuat Platt emosional. Ia membayangkan saat-saat terakhir hidupnya dan menyadari betapa pentingnya memperbaiki hubungan dengan ibunya selagi masih ada kesempatan. “Saya harus berbaring di ranjang rumah sakit tiruan yang aneh di tengah kota Bangkok untuk menyadari hal ini,” ungkap Platt, mengungkapkan keheranan atas pencerahan yang ia dapatkan.
4. Ruang Kematian
Ketika memasuki ruangan terakhir, pikiran Platt sudah terbebani oleh konflik batin dengan ibunya. Di ruangan ini, sebuah peti mati putih bersih diletakkan di atas tangga hitam, dengan kata “kematian” terpampang besar di dinding belakangnya. Ia kemudian berbaring di dalamnya, memejamkan mata, dan membayangkan momen kematiannya sendiri. Perasaan gelisah kembali menyergapnya; ia kembali menyadari penyesalan yang akan menghantuinya jika meninggal tanpa berdamai dengan ibunya. Pada saat itu, sebuah perasaan ringan dan jernih meliputi dirinya, seolah beban berat yang selama ini dipikul di pundaknya terangkat.
Platt menegaskan bahwa kunjungannya ke kafe tersebut bukanlah pengalaman yang menyeramkan, melainkan sebuah perjalanan transformatif yang memberikan kesadaran mendalam tentang apa yang pada akhirnya benar-benar penting dalam hidup. Sejak kembali dari Bangkok, tak lama setelah pengalaman di kafe kematian, Platt segera mengambil langkah untuk memperbaiki hubungannya dengan ibunya dengan tulus meminta maaf.
“Kami baru-baru ini berbicara di sebuah acara kumpul keluarga. Memang tidak sempurna. Namun ini adalah sebuah awal,” imbuhnya, menunjukkan bahwa sebuah pengalaman unik di “kafe kematian” telah membuka jalan menuju rekonsiliasi dan kedamaian batin yang lebih besar.