KASTROL yang ini bukan merek dagang pelumas mesin kendaraan bermotor dan industri, melainkan panci terbuat dari aluminium tebal untuk memasak nasi termasuk bikin nasi liwet.
Waktu saya masih SMP –berarti baru-baru saja– panci ini wajib dibawa saat kemping. Dalam rentang 1975-1978 beberapa kali saya melakukan perjalanan ke alam terbuka bersama teman-teman.
Mendirikan kemah, menyalakan api unggun, makan hasil masakan sendiri, bernyanyi, dan telentang memandang bintang-bintang atau menangkap suara debur ombak.
Tenda terbuat dari kain belacu tebal, yang dibentuk oleh penjahit berpengalaman. Bukan tenda jadi, hasil membeli dari toko daring (ya iyalah, waktu itu belum ada lokapasar). Kalau hujan, air merembes dari pori-pori kain dan sela-sela jahitan.
Kastrol adalah peralatan yang harus dibawa dalam kemping. Beras yang dibawa dari rumah dimatangkan bersama air di panci aluminium ini. Lauknya, bikin tumisan simpel atau gorengan. Sederhana, tapi nikmat.
Melihat kastrol lagi di Situ Gede, Kota Bogor.
Puas mengelilingi kumpulan air, yang menurut keterangan luasnya 6 hektar, tiba saat bersantap siang. Sayup-sayup terdengar panggilan untuk melaksanakan salat zuhur.
Sepertinya, asyik juga makan di bawah rindangnya pepohonan. Terdapat warung-warung penjual lotek, karedok, bakso, mie instan matang. Namun, itu kurang menarik bagi saya pada saat itu.
Akhirnya, kaki melangkah ke sebuah rumah makan yang terletak di seberang hutan. Sebelum makan, menunaikan salat zuhur di musalanya.
Letak restoran lebih dekat dengan permukiman. Berada di sekitar kebun talas ungu. Tidak sesejuk lokasi di hutan, tapi lumayanlah. Suasananya menenangkan dan menyenangkan.
Restoran yang saya duga mampu menampung 100 atau lebih pengunjung itu terdiri dari dua area. Indoor dan outdoor. Tempatnya bagus dan luas, tapi tidak terlihat tamu lain di ruang dalam. Sekitar 20 pengunjung berkumpul di saung (bangunan kecil di kebun) pada bagian luar.
Saya memilih meja di bagian luar. Bisa menghirup udara segar dan memandang kebun talas serta telaga di kejauhan pandangan.
Pada menu, saya menunjuk nasi liwet dan gurami bakar lengkap dengan pendamping, lalapan, sambal, dan karedok. Paket untuk 4 orang, kami 3 orang. Tidak menjadi soal, nasi dan lauk tersisa bisa dibawa pulang.
Pegawai restoran memberi tahu, mereka perlu mematangkan masakan dalam 25 menit. Pelayanan bagus, restoran menyampaikan waktu tunggu kepada tamu.
Tidak masalah. Tidak ada waktu yang mesti diburu. Pun, makhluk di perut belum ribut lalu bakar-bakar ban berunjuk rasa.
Akhirnya, server mengantarkan kastrol berisi nasi berbumbu dan tampah berisi aneka lauk dan sambal lalap. Perhatian tertuju ke kastrol isi nasi berbumbu. Nasi liwet Sunda. Bukan nasi liwet Solo
Nasi liwet Solo bersantan dan dimasak dengan beragam rempah. Dihidangkan dalam pincuk (wadah dari daun pisang) bersama sayur labu, suwir ayam kampung, telur pindang, dan disiram areh (olahan santan kental).
Sementara, nasi liwet ala tanah Jawa Barat merupakan hasil olahan beras, air, teri, dan bumbu-bumbu. Tidak memakai santan.
Pada nasi liwet tersebut terdapat teri, daun salam, batang serai, potongan bawang merah, cabai rawit utuh, dan daun kemangi segar sebagai hiasan. Bisa jadi bumbu lain, semisal bawang putih dan garam, telah dihaluskan.
Pendamping nasi liwet berada di nyiru, terdiri dari gurami bakar, tempe goreng tepung, tahu goreng, tumis peda, karedok, lalap, kecap dengan irisan rawit dan bawang merah, dan sambal terasi.
Aroma nasi liwet wangi. Saya mencecap sedap dan asin yang samar –tidak asin, gurih tidak berlebihan, sehingga pas disantap bersama lauk-pauk, lalapan, dan sambal. Terasa pas.
Cuma peda yang menyengat lidah. Rasa garam dan tumisan cabai rawitnya amat kuat. Memang karakter ikan kembung diawetkan ini sangat asin. Enak, tapi saya hanya berani memakannya`secuil.
Sesuai perkiraan semula, nasi liwet tidak habis untuk bertiga. Ia dibungkus dan dibawa pulang untuk makan malam. Sementara, lauk-pauk, lalapan, sambal terasi tandas menyisakan sambal kecap.
Kombinasi rasa enak dan perut kosong membuat hidangan hampir habis. Tidak rugi menukar dua lembaran merah, demi menikmati nasi liwet yang dimasak dalam kastrol bersama teman-temannya.