Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, telah memberikan tanggapan resmi terkait putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) yang signifikan merombak sistem kepemiluan nasional. Keputusan ini memicu perhatian luas mengingat dampaknya terhadap jadwal dan mekanisme Pemilu di Indonesia.
Dalam putusan bernomor 135/PUU-XXII/2024, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pemilihan Legislatif (Pileg) DPR dan DPD, serta Pemilihan Presiden (Pilpres), akan tetap diselenggarakan secara serentak. Namun, terdapat perubahan krusial: Pileg untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Kabupaten/Kota kini akan digabung dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Penyelenggaraan Pilkada dan Pileg DPRD ini dijadwalkan dua tahun setelah pelantikan anggota DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden terpilih.
Menyikapi putusan ini, Dasco menegaskan bahwa DPR masih akan melakukan kajian mendalam dan mencermati implikasi dari kebijakan MK tersebut. “Kami akan berbicara dulu secara informal menyikapi ini bagaimana,” ujar Dasco kepada awak media di Jakarta, Jumat (27/6), mengindikasikan perlunya koordinasi internal di parlemen.
Sebelum putusan MK ini, agenda pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu (UU Pemilu) tidak termasuk dalam masa sidang DPR saat ini. Namun, efek domino dari keputusan Mahkamah Konstitusi memunculkan urgensi untuk mendiskusikan kembali apakah revisi tersebut dapat dimasukkan ke dalam agenda sidang yang sedang berjalan. Dasco menambahkan, “Diskusi untuk bagaimana mengagendakannya di DPR pembahasan ini,” menyoroti prioritas baru dalam legislasi.
Senada dengan Dasco, Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, juga menyatakan bahwa pihaknya akan mempelajari secara saksama putusan MK. Meskipun demikian, terkait langkah konkret pembahasan revisi UU Pemilu, Komisi II masih menantikan arahan resmi dari pimpinan DPR. Rifqi menjelaskan, “Hal-hal inilah yang nanti akan menjadi dinamika dalam perumusan rancangan Undang-Undang Pemilu yang tentu kami masih menunggu arahan dan keputusan pimpinan DPR untuk diberikan kepada Komisi II DPR.”
Lebih lanjut, Rifqi menyampaikan sebuah opsi yang dianggapnya paling realistis apabila Pemilu lokal, khususnya untuk DPRD, harus mundur hingga tahun 2031. Menurutnya, perpanjangan masa jabatan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota menjadi pilihan yang tak terhindarkan. “Kalau bagi pejabat gubernur, bupati, wali kota kita bisa tunjuk penjabat seperti yang kemarin, tetapi untuk anggota DPRD satu-satunya cara adalah dengan cara kita memperpanjang masa jabatan,” tutur Rifqi, membedakan perlakuan terhadap kepala daerah yang bisa diisi penjabat sementara.
Pertimbangan MK Beri Jeda Paling Cepat 2 Tahun
Terkait dasar pertimbangan pemberian jeda waktu paling cepat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan antara Pemilu nasional dan Pemilu lokal, Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa sebenarnya kewenangan untuk menentukan batas jeda waktu pelaksanaan pemilu adalah ranah pembentuk Undang-Undang. Namun, MK memiliki justifikasi kuat berdasarkan pengalaman empiris.
Mahkamah menggarisbawahi bahwa penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden yang berlangsung bersamaan atau sangat berdekatan dalam tahun yang sama dengan pemilihan DPRD provinsi, kabupaten/kota, gubernur, bupati, dan wali kota, sebagaimana terjadi pada 14 Februari 2024, telah menimbulkan berbagai permasalahan. “Sehingga menurut mahkamah, penentuan jarak/tenggang waktu penyelenggaraan pemilu anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota, harus didasarkan pada berakhirnya tahapan pemilu anggota DPR, anggota DPD, presiden dan wakil presiden,” pungkas Wakil Ketua MK Saldi Isra, menegaskan perlunya jeda yang memadai demi kelancaran proses demokrasi.