Home / Technology / Robot Polisi & Anjing Robot: Misi Baru Polri? Cek Fungsinya!

Robot Polisi & Anjing Robot: Misi Baru Polri? Cek Fungsinya!

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menggebrak peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Bhayangkara ke-79 dengan menampilkan lebih dari 20 robot canggih. Beragam bentuk robot dipamerkan, mulai dari yang menyerupai manusia (humanoid), anjing (robot dog), tank, drone, hingga Ropi—akronim dari “robot pintar”—menandai langkah maju dalam modernisasi institusi penegak hukum ini.

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri, Irjen Sandi Nugroho, mengklaim bahwa penggunaan robot dalam instansi kepolisian bukanlah hal baru dan telah lazim di banyak negara maju. Ia mencontohkan inisiatif serupa di Thailand yang memperkenalkan robot humanoid, Dubai dengan pemanfaatan robot untuk tugas kepolisian, serta uji coba robot polisi patroli di China dan pengembangan kecoak cyborg untuk kegiatan SAR (search and rescue) di Singapura. Sandi menambahkan, proyek robot Polri ini telah masuk dalam rencana strategis institusi untuk periode 2025-2045, dengan alokasi anggaran untuk program robot anjing yang akan dimulai pada tahun 2026.

Meskipun mengakui bahwa masyarakat Indonesia “masih awam” dengan penggunaan robot-robot dalam tugas keamanan, Polri menyatakan “antusiasme masyarakat benar-benar di luar ekspektasi mereka,” mengindikasikan respons positif dari publik terhadap inovasi ini.

Namun, di balik narasi kemajuan teknologi ini, rencana pengadaan robot Polri mendapat sorotan tajam dari peneliti antikorupsi dan pegiat hukum. Isu utama yang diangkat adalah minimnya akuntabilitas kebijakan, mengingat tidak ditemukannya dokumen resmi yang menjadi landasan pengadaan robot-robot tersebut. Dari segi prioritas, kebijakan ini dinilai belum terlalu penting, mengingat masalah fundamental kepolisian di Indonesia tidak berkorelasi langsung dengan aspek teknologi.

Aspek biaya juga menjadi perhatian serius. Satu robot humanoid, misalnya, disebut memiliki harga yang jauh melampaui nilai pagu paket untuk biaya reparasi dan perawatan mobil Brimob di Polda Bengkulu (Rp200 juta) serta perawatan gedung Rumah Sakit Bhayangkara di Blora, Jawa Tengah (Rp89 juta). Perbandingan harga ini menimbulkan pertanyaan mengenai efisiensi dan urgensi belanja teknologi canggih ini.

Dalam mengembangkan robot-robot ini, Polri tidak bekerja sendiri, melainkan menggandeng dua mitra teknologi. PT Sari Teknologi, sebuah perusahaan riset dan edukasi yang berfokus pada pengembangan robot dan kecerdasan buatan (AI), menjadi salah satu kolaborator utama. Didirikan oleh Yohanes Kurnia pada tahun 2006 di Jakarta, PT Sari Teknologi lahir dari keyakinan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam penciptaan robot, bukan sekadar sebagai pengguna akhir. “Kami ingin anak Indonesia membuat robotnya sendiri dan tidak cuma membeli dari luar [negeri],” jelas Yohanes, yang dijuluki “Tony Stark dari Cengkareng” oleh media nasional berkat kiprahnya dalam industri robotik. Portofolio PT Sari Teknologi sebelum kolaborasi dengan Polri merentang panjang, mencakup sistem parkir otomatis, robot pembersih, hingga alat bantu pernapasan saat pandemi Covid-19, serta produk andalan Ropi (Robot Pintar Indonesia) yang dirancang untuk layanan pelanggan berbasis aplikasi dan deteksi wajah (face recognition) yang terhubung dengan mesin AI.

Selain PT Sari Teknologi, Ezra Robotics juga muncul sebagai mitra Polri. Perusahaan ini berkonsentrasi pada pengembangan robot empat kaki (quadruped), dengan mengimpor dan mengembangkan produk dari pabrikan China, Deep Robotics. Sebulan sebelum pameran, tepatnya Mei 2025, Ezra Robotics telah berkolaborasi dengan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) untuk memproduksi robot anjing, diklaim untuk “menjawab kebutuhan industri dan masyarakat.” Produk ini direncanakan dilengkapi sistem navigasi, sensor, dan kecerdasan buatan agar mampu bergerak mandiri atau menerima perintah verbal.

Yohanes Kurnia, bos PT Sari Teknologi, menyatakan bahwa teknologi yang ditawarkan perusahaannya “menyesuaikan kebutuhan unik kepolisian.” Keunikan ini terefleksi dalam fungsi spesifik masing-masing robot. Robot humanoid, dengan desain menyerupai manusia, direncanakan untuk tugas pelayanan serta pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Polri mengklaim robot humanoid efektif dalam pemindaian wajah dan pemantauan pelanggaran lalu lintas secara elektronik. Selain itu, mereka dianggap lebih dinamis dengan kemampuan bergerak bebas dan pandangan 360 derajat. Inspirasi datang dari aparat di China dan Dubai yang telah menggunakan humanoid “untuk patroli kepolisian serta pelayanan perpanjangan SIM [Surat Izin Mengemudi],” terang Juru Bicara Polri, Irjen Sandi Nugroho. Sandi mengonfirmasi bahwa robot humanoid akan digunakan untuk scanning, identifikasi biometrik Polri, pengenalan wajah di tempat-tempat keramaian, dan pemantauan jalur rawan pelanggaran lalu lintas. Meski demikian, Yohanes mencatat bahwa robot humanoid “masih terus dikembangkan dan diadaptasikan dengan keperluan kepolisian di masa depan,” membutuhkan “ribuan jam uji coba dan penyempurnaan algoritma sebelum mencapai tingkat operasional penuh.”

Sementara itu, robot anjing seri I-K9 yang digarap Ezra Robotics diklaim mampu bertahan maksimal empat jam, menurut Presiden Direktur Ezra Robotics, Dhanisakka Vardhana. Dilengkapi AI untuk menganalisis perilaku, I-K9 akan dioperasikan untuk mendeteksi bahan dan benda berbahaya, di samping misi penyelamatan bencana alam serta pembubaran massa demonstrasi melalui suara ultrasonik. Sandi Nugroho menekankan efektivitasnya: “Namun, ini lebih efektif karena tidak perlu kita beri makan setiap hari, tidak perlu proses latihan dan tenaga pawang, tahan cuaca ekstrem, dan sebagainya.”

Secara umum, Polri berharap kehadiran robot-robot ini dapat menunjang kinerja institusi, mewujudkan penegakan hukum yang akuntabel dan humanis. Institusi ini juga menegaskan bahwa robot-robot tersebut tidak akan menggantikan posisi atau tugas personel kepolisian. Sebaliknya, mereka akan diprioritaskan dalam situasi berbahaya. “Robot-robot ini, di masa depan, akan menjadi mitra strategis personel Polri. Mereka dirancang untuk mengambil peran di lokasi berisiko tinggi guna mengurangi paparan bahaya terhadap manusia, sekaligus meningkatkan akurasi operasi,” kata Inspektur Pengawasan Umum Polri, Komjen Dedi Prasetyo, pada Jum’at (27/06). Dedi mengakui bahwa teknologi ini “masih dalam tahap pengembangan awal dan akan terus belajar dari praktik terbaik negara-negara maju,” menunjukkan pendekatan bertahap dalam implementasinya.

Namun, informasi mengenai anggaran pasti untuk pengadaan robot oleh Polri masih menjadi misteri. Penelusuran BBC News Indonesia di laman Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Polri menggunakan kata kunci “robot,” “humanoid,” dan “PT Sari Teknologi” tidak membuahkan hasil. Untuk memberikan gambaran, jika merujuk pada perusahaan robotik di luar negeri seperti Unitree, satu robot humanoid dibanderol paling murah senilai US$16.000 dan US$90.000 untuk harga tertinggi. Dengan demikian, satu robot bisa bernilai lebih dari Rp250 juta—dengan asumsi harga maksimal humanoid Polri sekitar US$16.000—yang berarti lebih tinggi dari nilai pagu paket untuk biaya reparasi dan perawatan mobil Brimob di Polda Bengkulu (Rp200 juta) serta perawatan gedung Rumah Sakit Bhayangkara di Blora, Jawa Tengah (Rp89 juta), seperti yang disorot sebelumnya.

Sementara itu, harga satu robot anjing, mengacu pada standar perusahaan pembuatnya, Deep Robotics, ditetapkan “nyaris Rp3 miliar untuk model basic-nya sendiri,” ucap Dhanni. Nilai ini hampir menyamai nilai pagu paket konstruksi rumah dinas dengan tiga tipe—70, 45, dan 38—Polres Bolaang Mongondow Utara, Sulawesi Utara, sebesar Rp4,7 miliar. Dengan anggaran Polri untuk tahun 2025 yang ditetapkan sebesar Rp106 triliun (setelah dipotong kurang lebih 16%—dari sebelumnya sekitar Rp126 triliun—imbas kebijakan efisiensi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto), dengan 26,91% (Rp34 triliun) dialokasikan untuk belanja barang, transparansi pengeluaran ini menjadi sangat krusial. Belanja barang sendiri merupakan elemen penting dalam distribusi anggaran Polri dan pada tahun 2024 termasuk prioritas, difokuskan untuk penanganan tindak pidana narkoba, terorisme, keamanan laut, hingga pengawasan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, mengungkapkan bahwa lembaganya belum menemukan informasi mengenai perencanaan pengadaan robot dalam Sistem Rencana Umum Pengadaan Polri. Wana menegaskan bahwa Polri wajib menjelaskan landasan aturan kerja sama dengan pengembang yang ditunjuk, terutama karena robot yang ditampilkan di HUT Bhayangkara masih dalam fase pengembangan, mengindikasikan adanya perjanjian dengan pihak penyedia. “Jika robot tersebut akan dibeli oleh Polri untuk 2026, maka idealnya perlu ada mekanisme lelang agar perusahaan yang memiliki pengalaman dan keahlian dalam membuat robot dapat berkompetisi secara sehat,” ujarnya. Untuk memenuhi asas akuntabilitas dan prioritas, Wana menekankan pentingnya Polri membuka informasi mengenai grand strategy 2025-2045 dan rencana kerja 2026, sebab “sebelum melaksanakan belanja, perlu adanya identifikasi kebutuhan yang merujuk pada sejumlah dokumen perencanaan.” Tanpa itu, pembelian robot oleh Polri berpotensi melanggar ketentuan pengadaan barang atau jasa pemerintah.

ICW sendiri telah berulang kali mempermasalahkan dan menggugat asas keterbukaan Polri. Pada Agustus 2023, ICW bersama organisasi sipil lainnya menuntut Polri membuka kontrak pembelian gas air mata, namun ditolak, yang mengindikasikan “adanya informasi yang ditutupi Polri.” Tuntutan ini muncul sebagai respons terhadap dugaan pengerahan kekuatan berlebihan oleh aparat. Temuan ICW menunjukkan Polri telah melakukan lima kali belanja gas air mata antara Desember 2023 hingga Februari 2024 dengan anggaran Rp188,9 miliar. Dari lima paket tersebut, hanya satu yang menyajikan informasi detail tentang jumlah amunisi, mempersulit publik menagih akuntabilitas di tengah penggunaan gas air mata yang brutal dan serampangan, tegas ICW, Agustus 2024.

Penggunaan robot di sektor keamanan bukan lagi sekadar fiksi, namun membawa perkembangan nyata dalam kemampuan dan otonomi. Bagi kepolisian, robot menjanjikan peningkatan kinerja. Menurut riset “Regulating Police Robots” (2025) oleh Max Isaacs, Barry Friedman, dan Farhang Heydari, robot kepolisian dipandang lebih unggul karena dapat dikendalikan jarak jauh, menjaga petugas tetap aman, serta mampu bermanuver di area sulit. Mereka juga selalu waspada, tidak pernah lelah atau terganggu. Namun, riset yang sama juga menyoroti risiko nyata yang menyertainya. Robot yang sangat mobile dan dilengkapi kamera, sensor, serta analitik dapat mempercepat penyebaran pengawasan polisi, dengan konsekuensi serius terhadap privasi individu. Muncul pertanyaan etika mendalam mengenai bagaimana robot diberi wewenang bertindak, terutama karena mereka bekerja dengan mengumpulkan data GPS, pengenalan wajah, dan rekaman CCTV, yang berpotensi mempertajam masalah sistemik dalam penegakan hukum dan menargetkan “orang-orang biasa” yang mungkin tidak ada sangkut pautnya dengan aksi kriminal. Selain itu, peluang robot mengalami malfungsi—hancur, jatuh, atau meledak—juga sangat terbuka. Oleh karena itu, penggunaan robot harus dibarengi dengan implementasi aturan yang rigid, sesuatu yang belum ada di Indonesia sejauh ini.

Dalam rentang waktu yang berdekatan dengan pameran robot-robot barunya, Polri juga memperkenalkan kanal informasi bernama PoliceTube, yang berkolaborasi dengan PT Digital Unggul Gemilang. Kadiv Humas Polri, Irjen Pol. Sandi Nugroho, berharap PoliceTube menjadi “lompatan besar” dalam kehumasan dan “platform video sharing yang mendukung transformasi digital” untuk meningkatkan kepercayaan publik. Tampilan PoliceTube mirip platform video populer, menyajikan berbagai kategori video dari polda, polres, polsek, hingga kolaborasi, dengan rata-rata video berdurasi kurang dari lima menit dan views di bawah 500, berisi sosialisasi kegiatan, update kasus, hingga siaran konferensi pers.

Kemunculan robot dan saluran PoliceTube diklaim Polri sebagai segelintir metode untuk meningkatkan kualitas kerja pelayanan masyarakat dan pemenuhan keamanan. Namun, pertanyaan mendasar muncul: apakah inovasi ini mendesak dan relevan? Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menegaskan bahwa Polri seharusnya mengalihkan perhatian ke persoalan fundamental penegakan hukum. Julius mencontohkan lambannya pemrosesan laporan masyarakat korban kejahatan, yang sering berakhir dengan fenomena “undo delay” atau “no viral, no justice” dan tagar #PercumaLaporPolisi, mencerminkan ketidakseriusan polisi dalam mengusut laporan. Akar masalahnya, menurut Julius, adalah lemahnya kapasitas anggota kepolisian dan standar profesionalitas yang rendah, yang “maka tidak ada kaitannya dengan robot.”

Julius menambahkan, jika Polri memang hendak memperkuat aspek digital maupun mengikuti arah kemajuan teknologi, komitmen itu seharusnya dialihkan untuk menyelesaikan “dugaan tindak pidana yang marak dalam 10 tahun terakhir” seperti judi online, penipuan email/aplikasi, hingga investasi bodong, yang kasusnya sering “mangkrak” bertahun-tahun. Dalam konteks pengadaan robot yang cenderung untuk ketertiban umum atau konsentrasi massa, Julius berpendapat bahwa robot tidak akan otomatis menyelesaikan keruwetan jika Polri tidak merefleksi dan merapikan pangkal masalah internalnya terlebih dahulu.

Data dari KontraS, organisasi nonpemerintah yang mengawal isu keadilan dan HAM, menunjukkan bahwa Polri menjadi aktor di balik 602 peristiwa kekerasan sepanjang tahun 2025 berjalan, meliputi penembakan, penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang, hingga pembubaran paksa. Korban kekerasan polisi pada tahun 2025 mencapai 1.085 orang, dengan 1.043 di antaranya mengalami luka-luka dan 42 meninggal dunia. Komnas HAM pada semester pertama 2024 juga mendapuk kepolisian sebagai pihak yang paling sering dilaporkan dalam urusan pelanggaran HAM, dengan 350 aduan terkait kelambatan layanan, kriminalisasi, penghalangan proses hukum, hingga penyiksaan. Kasus-kasus seperti dugaan penyiksaan pencari bekicot hingga tewas di Grobogan (Maret 2025), kematian Herman setelah dipukuli polisi di Balikpapan (2019), serta hampir 700 korban penyiksaan di tahanan (2011-2019) yang mengakibatkan 63 kematian, menunjukkan siklus kekerasan yang terus berulang dan digunakan untuk memperoleh pengakuan. Bahkan, kasus mantan Kapolres Ngada yang memerkosa dan menjual video kekerasan seksual menjadi bukti ekstrem pelanggaran ini.

Amnesty International Indonesia (Maret 2025) menyoroti impunitas (kekebalan) di tubuh kepolisian sebagai akar masalah, menuding Polri “terkesan membiarkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan anggota kepolisian.” Oleh karena itu, Amnesty menyerukan reformasi menyeluruh. Julius Ibrani menyimpulkan bahwa “pengadaan alat ini menjadi satu capaian yang tidak relevan dengan tugas, pokok, dan fungsi [tupoksi] kepolisian apabila dihubungkan dengan urgensi yang dihadapi masyarakat.”

  • Sedikitnya 100 nyawa diduga melayang di tangan polisi dalam tiga tahun terakhir – ‘Mereka bukan sekadar angka, tapi nyawa manusia’
  • ‘Ironis anggota polisi yang seharusnya memberi rasa aman justru jadi pelaku kekerasan’ – Kontras temukan 622 kasus kekerasan oleh polisi setahun terakhir
  • Revisi UU Polri: ‘Perubahan aturan seharusnya fokus hentikan munculnya korban salah tangkap atau kekerasan polisi’
  • Mengapa orang tua Afif Maulana klaim kematian anaknya karena disiksa polisi di Sumbar?
  • Demo mahasiswa: ‘Hukum polisi yang terbukti melakukan kekerasan’
  • Kisah korban rekayasa kasus polisi: ‘Enggak ngaku begal, saya ditembak. Padahal saya enggak ngelakuin’
  • Badan perfilman teken kerja sama dengan polisi, pengembangan SDM atau ‘pengawasan’?
  • Pola kekerasan aparat terhadap demonstran yang menolak UU TNI menuai kecaman
  • Hakim vonis bebas polisi yang jadi terdakwa kasus pencabulan anak di Papua
  • Polisi penembak siswa SMK di Semarang jadi tersangka dan dipecat – Keluarga ungkap kejanggalan seputar kematian Gamma
  • Fakta-fakta polisi tembak polisi di Solok Selatan diduga terkait tambang ilegal
  • Tim forensik sebut Afif Maulana meninggal karena jatuh dari ketinggian, bukan dianiaya – ‘Dokter tidak menyampaikan secara utuh apa yang terjadi pada tubuh anak saya’
  • Repetisi ‘brutalitas polisi’ dalam demonstrasi revisi UU Pilkada, mengapa terus berulang?
  • ‘Orang asli Papua akan semakin takut’ – Mengapa Polri berencana rekrut 10.000 polisi baru di Papua?
  • Polisi gelar proyek tanam jagung 1,7 juta hektare – ‘Jagung yang ditanam di Jayapura menguning, petani tak kunjung dapat cangkul’