Langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam menjalin kerja sama dengan sejumlah operator telekomunikasi raksasa di Indonesia, meliputi Telkom, Telkomsel, Indosat, dan XLSmart, memicu gelombang kekhawatiran serius terkait privasi data dan penegakan hukum. Kemitraan ini bertujuan untuk pertukaran serta pemanfaatan informasi, namun langsung menuai kritik pedas dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) yang menilai inisiatif ini berpotensi melanggar hukum dan mengancam hak privasi masyarakat secara fundamental.
Kemitraan strategis antara Kejagung dan operator telekomunikasi tersebut memungkinkan pihak Kejaksaan untuk tidak hanya memasang dan mengoperasikan perangkat penyadapan informasi, tetapi juga mendapatkan akses langsung terhadap rekaman informasi telekomunikasi. Skema kerja sama ini, menurut SAFEnet, membuka celah lebar bagi potensi penyalahgunaan wewenang dan invasi terhadap ruang privat digital warga negara.
Direktur SAFEnet, Nenden Sekar Arum, menegaskan bahwa praktik penyadapan yang dilakukan tanpa dasar hukum yang kuat adalah tindakan ilegal. Mengutip Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Nenden menjelaskan, “Penyadapan itu pokoknya dilarang, kecuali memang ada surat dari pengadilan.” Oleh karena itu, ia menekankan urgensi adanya aturan turunan dari Undang-Undang Telekomunikasi yang secara spesifik mengatur kriteria target penyadapan informasi dan data, sebagai prasyarat sah bagi Kejagung untuk melakukan aktivitas tersebut.
Pengendusan informasi yang melibatkan operator telekomunikasi tanpa memenuhi serangkaian persyaratan dan prosedur hukum dinilai sebagai pelanggaran serius. Nenden menyoroti risiko kesalahan penyadapan dan ketidakjelasan mekanisme banding bagi warga yang dirugikan, “Bagaimana warga bisa mengajukan banding, jika ada kerugian? Ini belum ada aturan komprehensif di UU,” ujarnya. Ketidakjelasan ini mempertegas kekhawatiran akan kurangnya akuntabilitas.
Lebih lanjut, Nenden mengutarakan kekhawatiran publik yang mendalam terkait potensi kebocoran atau penyalahgunaan data pribadi, mengingat kerja sama Kejagung dengan Telkom, Telkomsel, Indosat, dan XLSmart juga ditujukan untuk menopang kegiatan intelijen. Kekhawatiran ini diperkuat oleh absennya kejelasan mengenai mekanisme pengumpulan, pengelolaan, pengamanan, serta durasi penyimpanan data yang dikumpulkan. Ketidakjelasan prosedur penyadapan dan pengawasannya semakin menambah daftar masalah. “Sebenarnya sudah termasuk dalam kategori pelanggaran hak privasi, karena tidak ada persetujuan dari pengguna,” imbuh Nenden.
Pandangan serupa disampaikan oleh Direktur Kebijakan Publik Raksha Initiatives, Wahyudi Djafar. Ia menilai kerja sama tersebut merupakan ancaman nyata terhadap perlindungan hak atas privasi warga negara yang secara tegas tertuang dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Wahyudi juga merujuk pada Pasal 30C Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan, yang memberikan batasan sangat tegas dan limitatif terkait penggunaan wewenang penyadapan. Pasal ini secara eksplisit mewajibkan praktik pengintaian informasi harus didasarkan pada undang-undang khusus yang mengatur mengenai penyadapan, dan “ini hanya yang terkait dengan penanganan tindak pidana,” jelasnya dalam siaran pers.
Menurut Wahyudi, praktik penyadapan hanya dapat dilakukan dengan alasan keamanan nasional atau penegakan hukum, namun harus tetap memenuhi kaidah dan prinsip pembatasan yang ketat. Ia berpendapat bahwa nota kesepakatan antara Kejagung dengan Telkom, Telkomsel, Indosat, dan XLSmart tidak secara rigoris mengatur durasi penyadapan, otorisasi, maupun proses perizinannya. Ia menekankan, “Operator telekomunikasi harus memastikan kepatuhannya terhadap UU Telekomunikasi terkait larangan penyadapan, yang juga merupakan bagian dari komitmen perlindungan terhadap konsumen mereka.”
Dalam upaya menjamin kepastian hukum, Wahyudi Djafar turut mendorong Presiden Prabowo Subianto dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera mempercepat proses pembahasan rancangan undang-undang (RUU) tentang Penyadapan. Kebutuhan akan regulasi ini dinilai krusial untuk mengisi kekosongan hukum. “Selain itu, secara jelas merumuskan pengaturan mengenai prosedur penyadapan dalam penanganan tindak pidana dalam materi revisi UU Hukum Acara Pidana,” tambahnya, menandai perlunya reformasi menyeluruh.
Menanggapi berbagai kritik tersebut, Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM-Intel) Reda Manthovani menjelaskan bahwa kerja sama dengan Telkom, Telkomsel, Indosat, dan XLSmart merupakan langkah krusial, khususnya di bidang intelijen. Menurutnya, inisiatif ini sejalan dengan pembaruan tugas dan fungsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Pasal 30B UU tersebut secara eksplisit memberikan otorisasi kepada bidang intelijen untuk menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan demi kepentingan penegakan hukum. “Saat ini, business core intelijen Kejaksaan berpusat pada pengumpulan data dan/atau informasi yang selanjutnya akan digunakan sebagai bahan untuk dianalisis, diolah dan dipergunakan sesuai dengan kebutuhan organisasi,” ujar Reda dalam keterangan resmi pada Selasa (24/6), menegaskan landasan operasional Kejagung.